Saturday, August 02, 2008

Melawat ke "batas" langit (2)

Personal dan intim. Adalah rasa saat masuk di cungkup Makam Syech Maulaan Ibrahim, kita bisa medekat kurang dari satu meter dari makamnya. Makam Syech Maulana Ibrahim tergolong kecil, namun tampak bersih. Makam ini berdekatan dengan tiga makam lainya yang merupakan keluarganya. Sama, seperti makam Sunan Ampel, makam ini hanya dibatasi dengan pagar besi melingkar. Di sampingnya, bertumpuk Al Quran dan buku-buku Yasin.

Saat duduk bersila di depan makam, dan mendaraskan doa, salah satu teman menghampiri dan berkata, ayo kita berdoa bersama. "Siapa nama ibu dan bapak," tanyanya sambil memulai berdoa lagi. Saat duduk bersila di depan makam, salah satu teman menghampiri dan berkata, ayo kita berdoa bersama. "Mas, siapa nama ibu dan bapak," tanyanya sambil memulai berdoa lagi. Dalam diam, hati menyelipkan puja-puji bagi Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, dan para alim ulama yang telah mewartakan Agama Islam ke masyarakat.

Saya pun diam termenung, mulai membayangkan apa yang sudah saya lakukan dalam hidup ini, dari hal baik dan buruk, baik yang disengaja atau tidak sengaja. Semua berkelebat dan memaksa hati meratap, memohon Allah agar ridho membersihkannya.

Di makam ini, kami pun tidak lama. Selepas itu perjalanan kami lanjutkan ke Makam Sunan Giri yang berjarak sekira 4 kilometer dari Makam Syach Maulana Maghribi. Saat mobil merayap memasuki lokasi parkir, kami sudah disambut dengan lima poster kampanye seukuran gaban para calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim. Tak ketinggalan, keramaian poster itu masih ditambah satu poster "Hidup adalah Perbuatan" milik pengusaha pasar modal kelahiran Pekalongan, Sutrisno Bachir.

"Makam Wali saja sudah dijadikan area kampanye," celetuk seorang teman galau, sambil mengajak saya menaiki tangga makam Sunan Giri. Lima menit di muka, kami sudah sampai di cungkup makam. Pekat malam mulai menutup. Berbeda dengan dua makam sebelumnya, Makam Sunan Giri tertutup kayu jati. Hanya kerabat, orang-orang penting yang bisa masuk dan berdoa di dalamnya. Kami berlima pun segera mengambil tempat, sambil bersandar, doa-doa pun mulai di daraskan.

Kami berlima pun meriung dalam hening dan pikiran masing-masing.

Jika dibandingkan dengan dua makam sebelumnya, beda atmosfer, beda rasa, tercecap. Memang, kondisi makam yang tertutup dengan bangunan kayu jati membuat "nuansa" spritual dan mistis agak tergerus. Namun, banyak kalangan mengatakan, penutupan itu dalam usaha menghilangkan buaian sifat syirik dalam hati para peziarah, karena mereka harusnya berdoa hanya untuk Allah Swt bukan kepada makamnya.

Setelah puas menuntaskan hajat spiritual di Makam Suanan Giri, kami pun segera bergegas pergi. Tujuan selanjutnya adalah Makam Sunan Drajat di Lamongan. Di parkiran, banyak peziarah yang juga mulai berdatangan. Bus-bus besar berisi bapak-bapak dan ibu-ibu tampak riuh rendah hendak menaiki tangga makam. Serasa tak mau ketinggalan sedetik pun, mobil kam pun segera berjingkat meninggalkan Gresik. Memasuki jalan yang mulai sepi, gas mobil pun digeber hingga maksimal.

"Bos, kita ziarah, kalau ada apa-apa, insya Allah syahid," seru seorang teman sambil tertawa, seisi mobil pun bergemuruh oleh tawa kami semua..

Tak lama, handphone teman kembali berbunyi..
"Hallo Bos, ada apa?" tanya teman itu mantap.
"Masalah penertiban spanduk dari Panwaslu, Cak, mohon dibantu tilpun ketua Panwaslu agar tidak mencopot spanduk punya kita!"
"Jangan kuatir, Panwaslu tidak berani. Nanti kalau nekat mencopot spanduk kita, kita demo ramai-ramai saja"
"Cak, posisimu dimana sekarang? Masih Ziarah?"
"Mau ke Lamongan, iya, mengantar teman yang "mualaf', ha..ha...," ucapnya sambil melirik ke arah saya..

Sunday, July 06, 2008

Melawat ke "batas" langit (1)

Puluhan orang, baik laki-laki dan perempuan yang sebagian besar berpakaian putih mengelilingi Makam Sunan Ampel itu dengan khusuk. Lantunan nama Allah disebut perlahan, namun energinya sigap menyelinap di relung-relung hati terdalam. Doa-doa yang didaraskan mengalun pelan mengisi seluruh ruang. Ditemani semburat cahaya bulan yang menerobos sisi daun dan bunga kamboja, melengkapi keteduhan itu. Semua kepala menunduk takzim. Khidmat.

Setidaknya, jika saat itu Anda hanya terdiam, merenung, niscaya akan bertukar tangkap dengan ketenangan dan kedamaian yang diselimuti rasa sejuk yang sontak menyergap, membekap, dan memberikan sensasi luar biasa yang sebenar benarnya.

Saya enggan cepat beranjak, namun Makam Sunan Ampel ini baru titik awal perjalanan saya ke beberapa makam wali para penyebar Agama Islam di Jawa yang berada di kawasan Jawa Timur. Inilah lawatan "batas" langit yang sejak dulu mengoda benak saya, dan saya hanya bisa ngame seperti apa rasanya. Ah, ternyata kedamaian di Makam Sunan Ampel itu telah mencuri sebagian hati saya.


Dibenak saya, adanya makam jadi penanda bahwa jika telah selesai dengan duniamu, akan ada sesuatu setelah itu, sesuatu yang menunggu di langit sana. Makam lah jadi batas antara dunia dan langit sana.


Saya jadi teringat, perbincangan dengan seorang temen, dia bertanya, "Apakah kamu khawatir dengan kehidupan setelah di dunia?" Agak lama saya menjawabnya, namun bagi saya, "Kita tak perlu khawatir, jika kita yakin dengan apa yang telah kita lakukan di dunia." "Ah, kamu telah membeli asuransi dari Tuhan ya," pungkasnya.

Malam itu, sekira lima kali sepeminuman teh menyerap nikmat ketenangan di Makam Sunan Ampel di Surabaya, kami segera melesat ke Gresik untuk melawat Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri. Perjalanan yang dimulai pukul 20.00 Wib ini berlanjut dan direncanakan berakhir tepat waktu Subuh di Makam Sunan Bonang di Tuban.

Mobil sewaan yang kami tumpangi segera bergegas meninggalkan kawasan Makan Sunan Ampel. Meliuk masuk Jembatan Merah, dan demi mengejar waktu, mobil Panther itu pun turut berdesakan dengan pejalan kaki, pembeli, dan penjual ikan di jalanan sempit Pasar Ikan di seberang Jembatan Merah. Saat mobil masuk tol, laju pun makin gesit. Lampu-lampu serasa berkejaran.

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara handphone pemandu lawatan ini, dia seorang kawan aktifis organisasi mahasiswa dan partai politik yang kini sibuk jadi tim pemenangan salah satu kandidat Gubernur Jawa Timur.


Dengan sigap, segera disambarnya suara dering itu.

"Hallo Boss"
"Dimana Cak, kok saya cari kok susah?"
"Sekarang lagi ziarah ke makam-makam Wali, mau perjalanan ke Gresik"
"Wah, sejak kapan jadi rajin ziarah dan beribadah?"
"Sejak orang-orang yang masih hidup seperti sampenyan sudah sukar dipercaya, jadi lebih baik ziarah saja, "diskusi" dengan yang sudah meninggal ha..ha..ha...ha."


Kawan disamping saya masih tampak sibuk tilpun-tilpunan, namun membincangkan ziarah dan ibadah, dan spiritualitas dan ekstase keilahian, saya teringat dengan seorang kawan yang sangat cerdas dan dia yakin bahwa hidup yang mengatur dirinya sendiri, tidak ada kekuatan terhebat (baca Tuhan).

Tentu berdiskusi dengan kawan ini, butuh persiapan matang. Namun, diluar pendapat berdasarkan telaahan ideologis, genealogi agama, hingga budaya, saya ingin mengetengahkan pendapat unik seorang geolog tentang Tuhan.


"Hidup ini seperti bak mengebor minyak bumi," jelas sang geolog itu. Karena menurutnya kita tidak tahu isi bumi, maka walau telah berlandaskan hasil pemetaan seismik, yang dilakukan hanyalah berlandaskan statistik. Selalu ada 50 persen kemungkinan ada minyak atau 50 persen tidak ada minyak.

"Begitu pula diskusi tentang Tuhan juga surga atau neraka, kemungkinananya sama," lanjut sang pakar ini. Semuanya 50 persen ada dan 50 persen tidak ada. Makanya, dia pun berbagi rahasia. "Berbuatlah baik dan beribadah yang serius dan iklas, sebab setelah kita mati ternyata kita bertemu Tuhan, ada amal yang ditimbang sebelum kita disorongkan arah ke Surga atau Neraka. Namun kalau selama hidup kita berbuat dosa, cilaka kan, karena kita tak mungkin minta kepada Tuhan untuk dibalikkan ke bumi agar bisa menjalankan agama dan berbuat baik. Namun, kalau ternyata tidak ada semuanya, alangkah bijaknya kita iklaskan semua ibadah dan perbuatan baik kita selama di dunia," jelasnya panjang lebar.


Tak terasa, menjelang pukul 22.00 Wib, mobil panther sewaan ini telah berhenti di pelataran Makam Syeh Maulana Maghribi di Gresik. Kami pun segera turun, mengambil air wudu dan bergegas menuju Makam. Kami duduk melingkar dan dalam kediaman masing-masing, kami mendaraskan doa bagi Allah SWT. Suasana makam ini lebih lenggang, hanya ada sepuluh penziarah yang hadir..

Friday, June 27, 2008

Surat Untuk Bune Astri

Hai Adek Bai yang cuantik, Assalamualaikum Wr Wb.

selamat sore..
Bagaimana rasanya ikut Bune Astri Wahyuni di Megamendung? Rasanya pasti dingin banget ya..he.he.he, iya tuh soalnya acaranya di puncak, jadi dingin.

Oh ya, sekarang ini Bune Astri lagi ikut acara pelatihan dari kantor tuh, kalau tak salah tentang Seven Habits, jadi Adek Bainya ikutan juga. Adek bainya binggung ya, pasti banyak orang, terus kalau habis maem malam banyak yang nyanyi-nyanyi karokean, he.he. suara temen-temen Bune bagus-bagus tidak atau lebih banyak yang fals? Tapi, ssttss rahasia yak, suara Pakne kalau karokean juga ngaco, nyanyinya fals melulu.ha..ha..ha..tapi nanti Adek bai pasti punya suara merdu seperti Bune Astri ya..

Tapi walau begitu di sana maeman dan cemialnya banyak tuh, pasti enak-enak. Semoga acaranya asyik ya, jadi Adek bai bisa ikut sekalian belajar juga, biar nanti kalau udah gede bisa sehebat Bune Astri yak.

Iya lho Adek Bai, dimata Paknenya, Bune itu sosok yang cantik, hebat, dan komplit..plit. jangan senyum-senyum, Adek Bai ya, dikirain jamu ya, kok pakai komplit.

Maksudnya, Bune itu adalah organizer yang mumpuni, tak pernah menyerah, selalu ada ide-ide yang unik serta beda, kalau sudah punya niat pasti akan diusahkan sempurna bisa terlaksana, dan juga paling pintar memberikan kejutan. Adek Bai, ini bukan sekadar pujian atau rayuan lho!

Ini neh, bukti yang bisa Pakne kasih, saat Pakne ulang tahun 12 hari lalu. Hari Minggu, 8 jUni 2008, jam 19.00 WITA, Paknenya tuh lagi mau makan malam bareng temen-temen kerja di ruang makan. Ternyata, saat Paknenya mau menyuap nasi, beberapa pelayanan makanan datang sambil membawa 30 mawar putih dan kue tart serta ucapan Selamat Ulang Tahun. Aduuuuh, Adek Bai, lemes hati pakne..kaget dengan gembira luar biasa. Wuiih..Bergetar hati karena bahagia yang tak terkira.

Senyum Pakne mengembang seluas lautan, tawa juga tak tertinggal. tepuk tangan dari puluhan orang membuat muka pakne merah banget, tapi seneng. saat tepuk tangan dari temen-temen kerja, walau Bunenya saat itu jauh tapi serasa ada di sebelah Pakne, kami bahagia bersama.

Wuih, dengan energi kegembiraan, serasa terbang badan pakne ini. Tahu tidak, Pakne tuh juga sudah bikin iri puluhan bapak-bapak yang lagi makan. betapa tidak, karena mereka belum mendapatkan kejutan seperti ini, atau punya istri yang sangat mencintai suaminya..

Tuh bayangin Adek Bai, walau dari Bogor, Bunenya bisa punya ide tentang kejutan, terus merencanakan kejutan (termasuk diam-diam mengumpulkan no HP temen Pakne yang bisa membantu eksekusi rencana ini), dan memastikan kejutan bisa pakne rasakan di seberang lautan.

Bune Astri sendiri lho yang menghubungi toko bunga dan toko roti, membayarnya, hingga memastikan proses pengiriman barang yang walau harus lewat laut. Saat itu juga hari Minggu, bukan hari kerja, tapi akhirnya bisa terlaksana dengan lancar dan tepat waktu. jadi jika tanpa usaha yang sangat keras, mungkin pakne baru mendapatkan bunga dan kuenya sehari setelah ulang tahun, kan jadi ngga asyik lagi..

Bune Astri juga punya target hasil dan waktu (Dengan deadline waktu ulangtahun itu, bune memastikan hadiahnya bisa pakne terima tepat pas pakne ulangtahun dan saat di depan banyak orang), dan terakhir bisa mengimplemtasikan rencana dan mengorganisir dengan baik. Hasilnya sempurna..

Oh ya, setelah hadiah kejutan dari bune itu, ternyata menginspirasi seorang temen kerja, yang dengan sekuat tenaga mencari dan mendapatkan ijin untuk pulang sebentar guna mengucapkan selamat ulangtahun bagi Istrinya..he..he..he..

Adek Bai, Paknenya itu bangga lho jadi suaminya Bune Astri. Oh ya, bune itu kalau mikirin kerjaan sampai harus bener tuntas-tas, kalau tidak, dia akan masih terus dicarikan pemecahan dan jalan keluar..Kalau sudah diskusi tentang pekerjaan, waktunya bisa melebihi lima peminuman teh..

Jadi, Adek bai cantik harus mewarisi dari Bune Astri berupa semangat kuat, pantang menyerah, teliti, selalu ada ide-ide segar, planner dan organizer yang hebat.

Hmm, Adek Bai cantik udah ngantuk yak.. sebelum bobok, tolong Adek Bai cantik, bisikin ke Bune Astri ya, kalau Paknenya sangat rindu dan mencintai bune dengan segenap rasa, hati, dan raga...

Wassalamualaikum, Wr WB

Saturday, May 17, 2008

Hot Drill










Matahari menampakkan keperkasaan terakhirnya, menjelang masuk ke peraduan.
Di bagian lain, serombongan orang dengan fokus tinggi, mencoba memadamkan kobaran api. Ya, mereka sedang berlatih rutin. Bagaimana menjinakkan api lalu memadamkannya.

Berlatih, adalah kata kunci agar kemampuan kita selalu terjaga. Sehingga saat bencana datang, tidak akan ada kepanikan, kebinggungan, dan saling menyalahkan dalam melaksanakan tugas. Sehingga, tujuan keselamatan terengkuh dan kehancuran bisa diminimalisir.

Fokus, terencana, dan teroganisasi dengan baik adalah mula dan cara agar hasil seperti yang diharapkan. Jadi, kalau ada sesuatu yang tidak terencana bisa menghasilkan sesuatu yang baik, itu adalah keberuntungan.

Hidup adalah implementasi dari latihan. Pikiran, akal, dan cipta kita menghasilkan rumusan-rumusan yang akhirnya bermuara pada pilihan-piliahan kita dalam hidup. Jadi semua terserah Anda dalam mengambil sebuah pilihan. Tapi, ingat, kadang, pilihan yang sudah direncanakan juga bisa tidak memberikan hasil maksimal. Tapi, itulah hidup!

Thursday, May 15, 2008

Mimpi

Saya suka bermimpi. Mimpi membuat kita tahu apa yang kita cari dalam hidup. Apa yang kita layak perjuangkan atas keberadaan kita di dunia ini. Mimpi sesekali memastikan kita menghitung ulang, apa yang sudah dilakukan, apa yang harus dikerjakan, dan kebodohan-kebodohan yang jangan diulangi.

Seluruh perbuatan harus kita pertanggungjawabkan. Mungkin bisa dipertanggungjawabkan di dunia, atau nanti masa seusai ajal tiba. Sesekali, mimpi kadang digoda dengan hadirnya ketakutan-ketakutan atas perbuatan atau proyeksi atas kehidupan di masa datang.

Mungkin, sedikit saran: lapangan pikiran dan dada, iklas berdoa, dan percaya. Biarkan kuasa tangan-tangan Tuhan mengetuk hati orang-orang agar membantu kita dan energi alam semesta akan mewujudkannya.

Mimpi yang menjadi sumber energi kita agar saat ajal tiba, kita dengan lantang mampu berkata: Alhamdulillah, hidup saya berguna.

Apa mimpi-mimpi atas hidupmu?

Monday, May 05, 2008

Mata Hati Bahagia

Menemukan kebahagiaan sejati, tentu sebuah perjalanan yang mengasikkan. Tapi, merengkuh kehidupan yang bahagia juga sebuah kenikmatan. "Pikiran tenang, hati tenang, maka kebahagiaan datang," tutur Mbah Surambah.

Namun, untuk mencapai dua ketenangan tadi, tentu butuh perjuangan keras. Bagaimana tidak, kita telah hidup selama ini, tentu kita telah meninggalkan jejak-jejak warna-warni kehidupan yang terus menyisakan ikutan pemikiran. Kadang romantisme kenikmatan, kemegahan, terbesit pula ketakutan, kadang kekhawatiran, serta kebimbangan.

Lantas, apa rumus mutakhir untuk mengurai seluruh simpul sisa-sisa pemikiran dan tindakan kita di masa lampau yang terus bergema hingga saat ini? Kembali, Mbah Surambah memberikan wejangan. "Nger, yang ndak perlu dikhawatirkan ya jangan dikhawatirkan, yang ndak perlu dipikirkan jangan dipikirkan terus menerus, cukup sekali saja diselesaikan. Insya Allah, Gusti Pangeran mendukung," tegasnya.

Kadang, mengucapkan lebih tampak gampang dan menyenangkan tapi acap kali susah diimplementasikan. Saat kita sibuk dengan beragam cara, upaya, kreasi, maka yang hadir adalah kenikmatan. Namun, bila kenikmatan itu sirna maka beragam carut marut hal akan hadir lagi.

"Kelola kenikmatan, agar dia jadi energi kehidupan kita," jawab Mbah Surambah memberikan jurus ke 10 dari praktik kehidupannya. Kenikmatan, menurutnya bisa datang dari hal sepele dan remeh-temeh. Tapi, kenikmatan itulah jadi sumber pemberi kehidupan kita.

"Untuk mendapatkan kenikmatan, kita harus selalu mengucap nama Allah di lidah kita, mensyukuri seluruh apa yang diberikan dengan mengucap Alhamdulillah, dan badan dilatih untuk selalu sabar. Kunci terakhir, selalu berdoa dengan tulus dan jujur kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan dan mengabulkan apa yang kita pinta," pungkas Mbah Surambah.

Friday, May 02, 2008

Trakulu

Semuanya bermula, saat mata saya menangkap satu-satunya udang yang masih hidup. Saat di spot pertama, sebenarnya dia sudah akan saya lempar. namun, karena temen2 merasa spot ini kurang panas, akhirnya kami pun berpindah spot.


saat tiba di spot kedua, saya pun tak sabar melemparkan udang ke perairan. tentu, dimulai dengan doa, mata pancing pun saya tempelkan di kulit kepala (bukan di ekor seperti biasa saya lakukan), mencium air laut, kaki udang tampak lincah berenang ke bawah. sepeminuman teh, satu tarikan pelan mengetarkan senar saya. tak mau kehilangan kesempatan, segera saya sentak pelan. kait pun mengena..


getaran awal itu, sebenarnya tak begitu mengagetkan saya karena lembut bukan seperti ikan kakap merah yang biasanya atau kerapu, tapi sedetik setelah roll saya tergulung, sebuah ketegangan baru langsung naik ke kepala. settttttttttt...senar langsung menegang kencang. terasa, arah senar di dalam air bergoyang liar. memutar ke kanan dan ke kini.kepala dan dada langsung dipenuhi dengan adrenalin..Ikan di dasar ini, langsung melawan..dia menarik kebawah dengan keras. "Ikan apa ini, dan sebesar apa ya," batin saya sambil terus bertarung..

kami pun bertempur. dari awal tarikan, dia masih mengeluarkan seluruh energinya untuk tinggal di laut, saya roll, tahan, lalu release roll untuk membuat dia lelah. sesekali saya tahan senar sambil mengatur nafas. awalnya, pertempuran dimulai dari sisi kanan kapal, lantas dia menarik, dan memkasa saya untuk pindah duduk ke belakang kapal, masih terus saling bergulat, hingga akhirnya dia membawa saya bergeser ke sisi kanan kapal.

saya lupa berapa lama, tapi beberapa kawan di kapal pun segera menghentikan aktifitasnya dan menanti hasil pertempuran itu. "Tahan, gulung, release," beberapa temen berteriak memberi semangat. mungkin hampir delapan hingga sepuluh menit, setelah saya berhasil mengalahkannya. Akhirnya semua bersorak, setelah ikan trakulu (menurut Kapten Mahdi, sekitar 3,5 Kg sampai 4 Kg--maaf lupa bawa timbangan dan meteran) berhasil diangkat ke atas kapal.


wah, Tuhan, terimakasih atas kenikmatan ini..maturnuwun..



Monday, April 07, 2008

Tujuh ratus dua puluh kejutan!


08 April 2006, dipayungi tatapan ratusan pasang mata, ikrar suci saya tabalkan. ”Saya, terima nikahnya Astri Wahyuni binti H. Subagio dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang senilai Rp842006 dibayar tunai.” Sejurus kemudian, riuh rendah rasa syukur serta doa pun membuncah.

Dua tahun sudah, kami melewati banyak peristiwa. Gembira banyak sekali. Berdua hidup di rumah kontrakan yang hanya satu kamar tidur tetap membuat kami senang. Cekakak cekikik bersama. Kalau untuk urusan ngambek, sampai sekarang, dalam hitungan lima jari pun belum habis.

Tentu, poeristiwa paling dalam di dua tahun pernikahan ini, ketika putri pertama kami Anantya Laksmi binti Ajar A. Edi, mendahului kami bertemu Allah SWT pada 4 Mei 2007, pukul 21.00 Wib. Jujur, saat itu, saya seperti manusia yang tak berdaya apa pun, sadar bagaimana kekurangan dan lemahnya manusia. Disisi lain melihat Astri terbaring seusai perjuangan dalam batas tipis antara hidup dan mati, di sisi lain melihat wajah-wajah sedih, di sisi lain melihat wajah Adek Laksmi yang cantik yang tampak tertidur pulas, semua campur aduk.
Saya hanya bisa menangis dan menangis. Ratusan SMS menghujani handphone saya, karena lemasnya, saya tak mampu membalas untuk mengucapkan terimakasih atas doa dan belasungkawanya (terimakasih dan mohon maaf,bila saat itu saya tak mampu membalas sms Anda sekalian).

Iklas, semua orang membisikkan kalimat itu. Iklas. Akhirnya saya tahu, betapa beratnya mewujudkan kalimat itu dan menjalanninya. Menurut hadist, Adek Laksmi tidak mau masuk surga jika tidak bersama orang tuanya. Banyak cerdik pandai yang bertutur, betapa banyak orang tua merindukan hal itu, adanya jaminan surga dari Allah. Jika teringat hal ini, saya hanya bisa bergumam lirih, betapa mulianya Adek Laksmi yang berkorban demi kebahagiaan orang tuanya.


Hingga sekarang, hati saya masih sedih sekali atas kepergiannya, berulang kali saya menangis saat rasa rindu atas dirinya datang menyergap: Adek, tunggu kami di pintu surga ya. Pakne bangga dengan Adek Laksmi.

Kini, Mbak Laksmi mau punya Adek Bai. Sekarang, dia udah lima bulan tinggal di dalam kandungan bune, tiap sore selama mendengarkan musik klasik atau diajak ngaji dengan bune, adek bainya bergerak-gerak lho. Adek Laksmi, minta sama Allah ya, agar Adek Bai sehat, pas melahirkan nanti, Bune dan adek bai selamat. Kini, Pakne tiap bulan menemani bune untuk periksa di dr Ahmad di RS Gandaria. Pakne dan bune banyak belajar lagi tentang kehamilan, riset dari internet, termasuk bertanya ke pasangan yang juga sedang memanti kelahiran putra-putrinya.

Kalau pas, lagi asyik, Pakne dan bune juga ngobrol ngalor-ngidul dengan pasangan-pasangan lainya. Namun, kadang banyak orang yang tak percaya, klau cinta pakne dan bune berawal dari Melawai, Blok M, lho.
Semua bermula dari perbincangan di sebuah warung lesehan di Melawai, Blok M, sambil makan nasi gudeg dengan lauk ikan pindang. Untuk peristiwa ini, kami sangat berhutang kepada Gus Mahbub, pewaris Pondok Pesantren WatuBukit di Gunung Kidul.

Saat masa pacaran, Taman Monas dan Taman Suropati adalah tempat paling favorit kami untuk beradu gagasan, menelurkan mimpi, juga berbincang tentang peradaban. Bersama Pangeran Renon, kami berdua berkeliling Kota Jakarta sambil bercengkrama dengan angin malam dan bulan.

Selama perjalanan dua tahun ini, acap kali, Astri selalu bertanya, "Apa yang membuatmu jatuh cinta padaku?" Berulang kali pula, saya selalu menjawab: saya yakin, kamu adalah pasangan hidupku. "Gombal," pekiknya sambil memukul-mukul badan saya dengan mesra. "Gombal..Gombal," ucapnya dengan muka merah merona bahagia.

Jujur itu bukan gombal. Sebab, secara rasional, saya tak mampu memberikan penjelasan lain lagi. Saya yakin, cinta dilingkupi semacam misteri (entah kapan terbongkar secara ilmiah), dalam pandangan filsafat dan agama bisa saja disebut peristiwa rohani.

Para teolog, biasanya menjelaskan, bahwa cinta itu terjadi karena dikehendaki oleh sesuatu subyek secara bertanggung jawab. Seandainya tidak, cinta hanya akan berupa dorongan naluriah yang akhirnya tak lebih dari mekanisme sebuah mesin biologis semata. Beragam peristiwa rohani (termasuk beragam "kemudahan" dari masa pacaran hingga menikah) yang menjadikan saya yakin, bersama Astri, saya akan mengarungi hidup sebagai manusia, suami, dan ayah yang harus bertanggung jawab dan sadar atas kepercayaan hidup yang diberikan Allah SWT.

Mengutip Robert C Solomon (The Virtue of Love dalam Midwest Studies in Philosophy vol XIII, 1988) cinta menjadi "romantik" karena adanya unsur-unsur pergulatan, konflik, ketegangan untuk saling mengalah atau mengalahkan; juga unsur keasingan dari "yang lain" yang tiba-tiba bisa memberi revelasi, kejutan, "suspense" atau "surprise" yang membahagiakan.
Ini mengapa, saya berjanji kepada Astri, akan memberinya banyak kejutan. Semoga, selama dua tahun pernikahan ini, sedikitnya 720 kejutan saya hadirkan untuknya! Bune, Pakne sangat bahagia hidup bersamamu..
Siapkan dirimu untuk berjuta kejutan lainnya!


Sunday, March 30, 2008

Membelai Horizon


Setiap melaut untuk memancing, selain kumpulan ikan, ada garis yang selalu saya tunggu. Yakni garis yang membatasi langit dan laut. Walau hanya setipis rambut, garis itu melahirkan rasa takjub yang luar biasa. Itulah Horizon yang dipunggut dari kata Yunani, Orizein, yang berarti membatasi.

Bagi saya, batas apa pun itu, selalu jadi tanda bahwa ada wilayah lain disebaliknya. Kadang, untuk melewati sebuah batas, kita butuh tanda pengenal. Mungkin juga ijin lewat. Ya, horizon itu selalu saya pandangi lekat-lekat. Tanpa bosan. Dia selalu mengingatkan saya, bahwa ada banyak misteri yang ada dibaliknya.



Rupa hati selalu bertandang, saat menatap horizon yang melingkari kita. Saat di tengah laut, dan kepala berputar, maka horizon itu pun mengelilingi kita. Tanpa putus. Titik titik yang bersambung. Acap kali, di laut, gambaran wajah makzul Truman dengan beribu tanda membayangkan juga di mata. Truman, diperankan dengan baik oleh Jim Carrey dalam film Truman Show, bersikeras ingin menyebarang lautan, akhirnya setelah melewati berbagai topan badai, akhirnya dia menempelkan tangan di horizon laut di kotanya.

Ternyata, langit yang selama ini tampak hanyalah tembok pembatas dunianya yang ternyata hanya dunia buatan! Di tembok itu, terdapat sebuah pintu kecil, pintu yang menghubungkannya dengan dunia yang sebenarnya di luar sana.

Ah, menuju sesuatu yang tidak kita tahu, tentu melahirkan banyak tafsir, penilaian, catatan, juga perkiraan. Ada apakah di balik horizon kita? Kadang, saya juga takut dengan pertanyaan ini, kadang saya memilih untuk mengalihkanya dengan menantap kejaran ikan, tapi pasti pertanyaan itu akan kembali, ada apakah dibalik horizon kita? Dan apakah kita bisa mendapatkan pintu terbaik?

Friday, March 28, 2008

Pulung, Popularitas, dan Janji Kampanye

Wakil Presiden Jusuf Kalla hanya bisa geleng kepala, karena dalam lima tahun Indonesia mengelar 500 kali pemilihan kepala daerah secara langsung. Itu pun masih ditambah pemberitaan konflik atas hasil Pilkada dari penjuru Indonesia, yang jelas membuatnya makin geleng kepala.

Namun, seperti Jusuf Kalla yang mungkin mencalonkan diri jadi Presiden Indonesia, ada beribu alasan kenapa banyak orang berlomba jadi pemimpin daerah hingga presiden. Dari alasan klise ingin mengabdikan diri membangun negeri, hingga prestise pribadi.

Yang pasti, jalan jadi pemimpin beragam. Dari menunjuk diri sendiri, demokrasi langsung, lewat bekapan otoriter, hingga kudeta di bawah todongan laras senjata. Semuanya bermuara dua hal: merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Dalam keyakinan Jawa, dan praktiknya masih terasa hingga kini, kekuasaan seiring sejalan dengan belai supranatural. Untuk jadi pemimpin, orang harus mendapatkan atau bila perlu “merampok” pulung keprajan (wahyu cakraningkrat atau restu dari kekuatan yang tak terlihat).

Diyakini, wujud pulung berbentuk cahaya putih yang melayang dari langit lalu moksa (menyusup) ke tubuh seseorang atau rumah yang ditinggali. Beberapa hikayat menuturkan, pulung acap datang lewat dini hari menjelang fajar. Di masa lalu, pulung adalah basis legitimasi religius dan kultural seorang pemimpin. Itulah bukti restu Langit atas kepemimpinan seseorang.

Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya) diyakini mendapatkan pulung untuk jadi Raja Pajang, saat tertidur di pendopo rumah. Tapi, pulung ini akhirnya direnggut Sutawijaya (Panembahan Senopati) dalam peperangan. Saat itu, pulung Panembahan Senopati adalah dukungan kekuatan imajiner Kanjeng Ratu Kidul yang didapatnya setelah semedi.

Hal sama terjadi saat pulung Presiden Soekarno, dengan alasan penertiban keamanan, direbut Soeharto lewat Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret). Dikalangan spritual Jawa, tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dalam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.
Bisa dikatakan, pulung jadi sumbu utama bagi proses penciptaan kesadaran palsu khalayak luas atas "pemimpin baru" (pemimpin dengan kekuatan tak terhingga). Hal ini terjadi karena belum terbentuk kesadaran kritis individu, sehingga khalayak dengan mudah masuk perangkap.

Namun, dalam kondisi terburuk, proses ini bisa bermuara pada pemberhalaan, pemujaan, yang mengantarkan pemimpin pada keterasingan atas dirinya sendiri. Hal ini bisa kita lihat di senjakala kepemimpinan Soekarno dan Soeharto.
Yang jelas, proses reifikasi yang dilakukan pemimpin memunculkan sebuah struktur "tertulis" ke permukaan. Bak sistem semiotis, dimana penaklukan atas kesadaran atau ideologi menggunakan bahasa atau makna. Namun pastinya, logika-logika yang dibangun, antara logika pikiran primitif sama ketatnya dengan ilmu modern.

Merujuk Saussure, perbedaan logikanya tak berada pada proses intelektual, tetapi lebih pada hakikat benda tempat pikiran itu diterapkan. Pada tradisi lisan, hikayat pulung hidup melintasi generasi melalui supranaturalis, hingga para juru kunci. Yang pasti, juru kunci seperti Mbah Maridjan pun perlu pulung.
Maka, jika patronase pemimpin di masa lampau dibungkus dengan pulung, di masa modern sekarang, isi patronase itu terkomodifikasi menjadi popularitas. Kini di masa tradisi literatur dan era digital, media jadi “juru kunci” pengantar suara dari kekuatan tak terlihat yang mampu mereproduksi popularitas kepemimpinan seseorang yang dibalut citra.

Jalaluddin Rakhmat (1986) mendefinisikan citra sebagai gambaran tentang realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Citra adalah dunia menurut persepsi kita. Selaras dengan itu, dengan kekuatan media, citra jadi senjata utama memompa mantra popularitas. Hal ini terjadi, karena secara teoretis, media massa memegang peran penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934).

Media melalui teksnya berperan sebagai detektor kondisi masyarakat. Dari budaya populer, politik, ideologi, hingga kebiasaan. Sebagai saluran sarat kepentingan, hanya media yang mampu mengkonstruksi kenyataan yang ada, dilengkapi rasionalisasi, bias-bias, dan yang utama keperpihakan kepada “penyuruhnya”. Hingga citra yang ditampilkan terkesan tak lepas dari konteks sosial.

Jadi, saat seseorang (atau lembaga survey) jadi sais atas media, maka semua citra dan realitas dibentuk atas titah mereka. Akhirnya, masyarakat hanya menangkap realitas melalui citra media yang telah direka. Citra jadi terlihat lebih penting (asli) dari realitas empiriknya, walau sebenarnya citra hanya menginduk pada simboliknya.

Namun, baik di masa lampau atau sekarang, selain pulung yang kini berganti jadi popularitas, seseorang yang ingin memimpin harus punya tiga kekuatan utama.
Pertama, reputasi kepemimpinan. Biasanya, reputasi ini didapatkan dari garis kepemimpinan terdahulu. Masyarakat telah mengenal kepemimpinan lewat kemampuan pendahulunya. Misalnya, kita mengenal Dinasti Bhuto di Pakistan, Dinasti Kennedy di Amerika Serikat, atau Dinasti Soekarno di Indonesia.

Tapi, kalau tidak ada punya reputasi? Jangan kuatir, kemampuan bisa didomplengkan lewat lembaga formal: baik kampus, institusi sipil, pemerintahan, atau keraton. Ini alasan, mengapa menjelang pemilihan kepala daerah, banyak orang sibuk mencari gelar kebangsawanan, gelar akademik resmi, atau gelar honoris causa.

Kedua, adakah partai penyokong dan para pengikut (kalau bisa yang bersenjata). Mereka jadi bagian massa kampanye, mengintimidasi lawan, serangan fajar, hingga menguasai Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk manipulasi suara. Maka, kalau kemudian belakangan lalu beredar, setelah calon Presiden Sutiyoso terdengar mendapat dukungan dari para purnawirawan tentara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun segera mengumpulkan para Jenderal untuk menetralisir.
Ketiga, dana (harta kekayaan). Dulu kekayaan sebagai tampilan status sebagai orang kuat. Kini, dana berfungsi pelumas mesin kampanye. Untuk menyewa lembaga survey, pernik kampanye, hingga uang serangan fajar. Kalau tak punya dana, banyak pihak menyumbang, tapi berganti balas budi dikemudian hari.

Namun, bumbu paling manis perajut kekuatan praktis dan ideologi tadi adalah janji. Perlu diingat, walaupun janji dari calon kepala daerah atau presiden hanya sekadar kata, namun kata-kata tadi telah berbingkai ideologi. Inilah yang membuat janji berlaku sebagai produk material. Baik dalam kehidupan praksis sehari-hari bahkan secara imajiner, ideologi mejadikan dirinya sesuatu yang merepresentasi.

Janji adalah jembatan pembentuk relasi struktur yang akan bertransformasi jadi struktur kesadaran dan struktur tingkah laku. Ini sebab, mengapa janji menjadikan dirinya mampu melahirkan kepercayaan masyarakat kepada (calon) pemimpinya.

Untuk itu, hati-hati membuat janji. Sebab, setelah memimpin, bila janji tak terpenuhi atau ingkar janji, pulung keprajan bisa berpindah tuan. Atau, bisa berganti dengan pulung gantung. Warga Gunung Kidul, Yogyakarta, yakin bentuknya bak bola api berekor dan berwarna hijau kemerahan. Menurut mereka, bila ada rumah didatangi pulung gantung, keesokan harinya salah satu penghuninya ditemukan mati gantung diri.


Thursday, March 27, 2008

Komodifikasi Energi

Kehidupan membutuhkan energi sebagai pematiknya. Elemen yang jadi penggerak, sumber, dan memastikan kehidupan masih terus berputar. Pergerakan dunia memaksa harga black gold (minyak) meninggi sepanjang sejarahnya, kalau pun sekarang reda, harganya akan selalu berkibar di atas US $ 100. Memang, banyak energi lain yang kini terus dikembangkan serta di eksplorasi. Baik dari energi panas bumi, hidro energi, bio fuel (yang jelas akan memakan banyak lahan potensial dan sumber makanan bagi manusia), hingga pemanfaatan Ganggang.

Namun, untuk membuat hidup tetap berkembang membesar, kita juga butuh energi yang hanya bisa dirasa. Itulah cinta.

Hmmm...Tak percaya? Srikandi (bukan nama sebenarnya), berbagi kisahnya. "Saya kaget, ternyata orang di sekeliling saya tahu, semenjak saya tinggal berjauhan dengan suami, aura semangat dan energi saya terlihat kusam. Tak berpendar dan menguat seperti saat kami tinggal bersama," tutur Srikandi. "Ah, padahal baru dua tahun kami menikah, saya terasa tak bisa hidup maksimal jika tidak berdekatan dengannya. Hampa."

Namun, Srikandi pun tahu, rasa kerinduan itupun kini dikelolanya sebagai sebuah tantangan. "Kerinduan ini menjadi energi saya untuk terus berkembang dan menyerap banyak hal baru. Sehingga pas ketemu suami saya, energi cinta darinya akan makin mengembangkan energi hidup saya. Ah, saya rindu ingin segera bertemu," ucapnya dengan pipi merah merona.

Apa yang dialami Srikandi, dalam kondisi yang berlainan mirip juga dialami temen lainya. Sebut saja namanya Valen. Lulusan jurusan HI dari perguruan negeri terkemuka di Indonesia itu, kini memilih berprofesi sebagai pedagang sampah. "Di era sekarang ini, dimana semua serba terbatas, Sampah adalah energi yang luar biasa. Kita bisa melakukan banyak hal dari sampah. selain energi dengan daur ulang, Sampah bisa menghidupi banyak manusia," paparnya panjang lebar.

Memulai bisnis "energi" sampah ini membuatnya sadar, para pemulung adalah senjata utamanya. Bagaimana tetap membuat pemulung ini setia? "Jika kamu (pemulung) membela dan bekerja dengan sepenuh hati dengan saya, maka saya jamin kita akan selalu hidup bersama. Apa yang saya dapat, tentu kamu (pemulung) pasti dapat," katanya. Valen mengaku, dengan penegasan itu, maka ikatan emosional mulai terjadi.

Dia pun meniru hampir sebagaimana cara hidp mereka, makan bersama, bekerja bersama dari pagi hingga subuh, bahkan sering tidak mandi. "Mengelola rasa adalhBeberapa penyakit standar para pemulung pun, pernah hinggap di tubuh saya. setidaknya, para anggotaku telah membaptis bosnya jadi bagian dari mereka," ungkapnya sambil terkekeh panjang.

Mengelola tantangan dan mengkomodifikasi energi adalah tantangan agar kita selalu bisa merejuvenasi energi!