Sunday, July 06, 2008

Melawat ke "batas" langit (1)

Puluhan orang, baik laki-laki dan perempuan yang sebagian besar berpakaian putih mengelilingi Makam Sunan Ampel itu dengan khusuk. Lantunan nama Allah disebut perlahan, namun energinya sigap menyelinap di relung-relung hati terdalam. Doa-doa yang didaraskan mengalun pelan mengisi seluruh ruang. Ditemani semburat cahaya bulan yang menerobos sisi daun dan bunga kamboja, melengkapi keteduhan itu. Semua kepala menunduk takzim. Khidmat.

Setidaknya, jika saat itu Anda hanya terdiam, merenung, niscaya akan bertukar tangkap dengan ketenangan dan kedamaian yang diselimuti rasa sejuk yang sontak menyergap, membekap, dan memberikan sensasi luar biasa yang sebenar benarnya.

Saya enggan cepat beranjak, namun Makam Sunan Ampel ini baru titik awal perjalanan saya ke beberapa makam wali para penyebar Agama Islam di Jawa yang berada di kawasan Jawa Timur. Inilah lawatan "batas" langit yang sejak dulu mengoda benak saya, dan saya hanya bisa ngame seperti apa rasanya. Ah, ternyata kedamaian di Makam Sunan Ampel itu telah mencuri sebagian hati saya.


Dibenak saya, adanya makam jadi penanda bahwa jika telah selesai dengan duniamu, akan ada sesuatu setelah itu, sesuatu yang menunggu di langit sana. Makam lah jadi batas antara dunia dan langit sana.


Saya jadi teringat, perbincangan dengan seorang temen, dia bertanya, "Apakah kamu khawatir dengan kehidupan setelah di dunia?" Agak lama saya menjawabnya, namun bagi saya, "Kita tak perlu khawatir, jika kita yakin dengan apa yang telah kita lakukan di dunia." "Ah, kamu telah membeli asuransi dari Tuhan ya," pungkasnya.

Malam itu, sekira lima kali sepeminuman teh menyerap nikmat ketenangan di Makam Sunan Ampel di Surabaya, kami segera melesat ke Gresik untuk melawat Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri. Perjalanan yang dimulai pukul 20.00 Wib ini berlanjut dan direncanakan berakhir tepat waktu Subuh di Makam Sunan Bonang di Tuban.

Mobil sewaan yang kami tumpangi segera bergegas meninggalkan kawasan Makan Sunan Ampel. Meliuk masuk Jembatan Merah, dan demi mengejar waktu, mobil Panther itu pun turut berdesakan dengan pejalan kaki, pembeli, dan penjual ikan di jalanan sempit Pasar Ikan di seberang Jembatan Merah. Saat mobil masuk tol, laju pun makin gesit. Lampu-lampu serasa berkejaran.

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara handphone pemandu lawatan ini, dia seorang kawan aktifis organisasi mahasiswa dan partai politik yang kini sibuk jadi tim pemenangan salah satu kandidat Gubernur Jawa Timur.


Dengan sigap, segera disambarnya suara dering itu.

"Hallo Boss"
"Dimana Cak, kok saya cari kok susah?"
"Sekarang lagi ziarah ke makam-makam Wali, mau perjalanan ke Gresik"
"Wah, sejak kapan jadi rajin ziarah dan beribadah?"
"Sejak orang-orang yang masih hidup seperti sampenyan sudah sukar dipercaya, jadi lebih baik ziarah saja, "diskusi" dengan yang sudah meninggal ha..ha..ha...ha."


Kawan disamping saya masih tampak sibuk tilpun-tilpunan, namun membincangkan ziarah dan ibadah, dan spiritualitas dan ekstase keilahian, saya teringat dengan seorang kawan yang sangat cerdas dan dia yakin bahwa hidup yang mengatur dirinya sendiri, tidak ada kekuatan terhebat (baca Tuhan).

Tentu berdiskusi dengan kawan ini, butuh persiapan matang. Namun, diluar pendapat berdasarkan telaahan ideologis, genealogi agama, hingga budaya, saya ingin mengetengahkan pendapat unik seorang geolog tentang Tuhan.


"Hidup ini seperti bak mengebor minyak bumi," jelas sang geolog itu. Karena menurutnya kita tidak tahu isi bumi, maka walau telah berlandaskan hasil pemetaan seismik, yang dilakukan hanyalah berlandaskan statistik. Selalu ada 50 persen kemungkinan ada minyak atau 50 persen tidak ada minyak.

"Begitu pula diskusi tentang Tuhan juga surga atau neraka, kemungkinananya sama," lanjut sang pakar ini. Semuanya 50 persen ada dan 50 persen tidak ada. Makanya, dia pun berbagi rahasia. "Berbuatlah baik dan beribadah yang serius dan iklas, sebab setelah kita mati ternyata kita bertemu Tuhan, ada amal yang ditimbang sebelum kita disorongkan arah ke Surga atau Neraka. Namun kalau selama hidup kita berbuat dosa, cilaka kan, karena kita tak mungkin minta kepada Tuhan untuk dibalikkan ke bumi agar bisa menjalankan agama dan berbuat baik. Namun, kalau ternyata tidak ada semuanya, alangkah bijaknya kita iklaskan semua ibadah dan perbuatan baik kita selama di dunia," jelasnya panjang lebar.


Tak terasa, menjelang pukul 22.00 Wib, mobil panther sewaan ini telah berhenti di pelataran Makam Syeh Maulana Maghribi di Gresik. Kami pun segera turun, mengambil air wudu dan bergegas menuju Makam. Kami duduk melingkar dan dalam kediaman masing-masing, kami mendaraskan doa bagi Allah SWT. Suasana makam ini lebih lenggang, hanya ada sepuluh penziarah yang hadir..

No comments: