Tuesday, November 14, 2006

Kontes Pilkades dan Mimpi Pilpres Jujur

Kontes Pilkades dan Mimpi Pilpres Jujur
Oleh: Ajar Aedi
PEMILIHAN presiden (pilpres) Indonesia secara langsung baru akan dilaksanakan Juli 2004. Namun, geliat, magnet, dan ingar-bingar tontonan itu sudah tercecap. Sebenarnya, kita pun acap kali melakukan proses demokrasi langsung itu. Salah satunya prosesi pemilihan kepala desa (pilkades). Adakah prosesi pilkades yang bisa dijadikan proyeksi, seperti apa pilpres kita nanti?
Nurcholish Madjid kecil, tentu tak bercita-cita jadi presiden. Tetapi, kini, dia tengah meniti jalan berebut kursi tertinggi negeri ini. Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid, adalah satu dari 31 orang yang masuk dalam bursa calon presiden.
Jumlah calon presiden ini adalah angka yang menakjubkan. Dan, tak mungkin terjadi di masa pilpres era Orde Lama atau Orde Baru. Kondisi ini juga mengherankan. Di tengah negara berbekap beragam masalah, presiden jadi jabatan paling dinanti serta diminati.
Namun, belum apa-apa, orang pun mulai berkenalan dengan istilah baru dalam ranah pilpres: "suntikan gizi". Sebuah fragmen politik yang membuat Nurcholish Madjid mengurungkan niat berebut kursi presiden lewat jalur konvensi yang digagas Partai Golkar. Sepertinya, "politik gizi" ini sudah jadi pertanda awal, parahnya dekadensi moral juga etika politik.
Tak heran, puluhan analisa politik pun bermuara pada satu titik: Pilpres 2004 akan penuh dengan politik uang. Parahnya, praktik ini akan leluasa menyelusup di antara celah-celah hukum. Politik uang itu bermain dalam ranah praksis, dengan membagi uang pada warga, atau bermain dalam tingkatan lebih tinggi, penguasaan media masa.
Tak cuma itu, tebaran janji bagi para pendukung pencalonan jelas akan menguatkan praktik ini. Entah itu pemuka agama atau pentolan preman yang memberi dukungan, jelas akan erat dengan politik uang ini. Ternyata, kondisi ini juga terekam dalam sebuah pilkades di daerah Ajibarang, Purwokerto, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Sebulan sebelum menjelang pilkades, pesta pun sudah dimulai. Tiap calon mulai melakukan open house. Menyuguhi warga dengan beragam keriangan. Dari rebusan pisang, jajan pasar, kue kering dan kue kaleng, minuman yang selalu hangat, rokok, juga tak ketinggalan: hiburan. Dari karaoke hingga pemutaran film lewat VCD. Dan, jikalau menang, keriangan open house bisa berlanjut selama sebulan.
Pernak-pernik kecil ini yang mengharuskan calon kades memiliki banyak modal. Pertama, harta kekayaan yang cukup atau istilahnya, bandha. Dana ini juga akan digunakan untuk "serangan fajar" dan upacara kemenangan. Parahnya, kebanyakan calon memberanikan diri berutang uang guna modal pilkades.
Kedua, bandhu atau keluarga. Intinya, calon harus mempunyai garis trah (keturunan) kades. Semisal, bapaknya, kakeknya, atau buyutnya pernah jadi kades. Selain itu, jalinan keluarga besar pulalah yang dijadikan sumber utama suara dan tentu saja, alat propaganda resmi.
Dan, ketiga, bandhit atau penjahat. Golongan inilah yang diperlukan menggarap hal nonteknis. Dahulu kala, bandhit berperan mengamankan juga melindungi warga desa dari serangan perampok. Uniknya, mereka hidup dari hasil merampok di desa lain. Namun, dewasa ini fungsi mereka berubah. Merekalah "aparat" utama seorang calon memaksimalkan suara. Dari penggalangan massa, intimidasi warga, hingga serangan fajar.
Untuk menggaet massa, calon kades pun melakukan beragam cara. Dari pengajian ke tiap penjuru dusun dan kampung-di mana di dalamnya diselipi janji-janji politis, dan terpenting, tebaran beragam bantuan. Pada praktik ini, mimpi kekuasaan mengharuskan calon kades dengan tangkas memainkan "janji-janji".
Janji jadi piranti ampuh menjerat hati dan legitimasi masyarakat. Sebab, janji politik itu mengubah diri jadi jerat ideologis yang tak tertahankan. Imbasnya, kondisi itu akan membentuk relasi struktur yang akan bertransformasi jadi struktur kesadaran dan struktur tingkah laku. Tak heran, janji menjadikan dirinya sebagai kondisi yang melahirkan kepercayaan, bahkan sentimen populer yang akan selalu hidup di masyarakat.
Janji yang berbingkai ideologi akan berlaku sebagai produk material. Meminjam Althusser, ideologi adalah sesuatu yang merepresentasi walau ideologi hadir baik dalam praksis kehidupan juga secara imajiner. Nah, kehidupan imajiner ini yang menghasilkan keyakinan, jabatan kades bukanlah jabatan sembarangan.
Merujuk mitologi Jawa, kades atau lurah identik dengan seorang tokoh. Lurah Semar, sang pengayom. Tokoh linuwih yang dianggap mampu melindungi, menyelesaikan masalah, dan membimbing ke arah kemakmuran. Keyakinan ini yang menyeret, bahwa jabatan kades memerlukan pengaruh dunia lain: kekuatan supranatural.
Maka, sukses menduduki kursi kades, dihitung dari sukses calon merenggut pulung (wahyu atau restu). Diyakini, wujud pulung berbentuk cahaya putih sebesar bola tenis yang melayang dari langit lalu moksa ke rumah calon yang dikehendaki. Waktu kedatangannya di pagi buta.
Pulung berperan memberi basis legitimasi kultural dan religius seseorang sebagai pemimpin. Uniknya, sampai sekarang, di era gegap- gempitanya serbuan teknologi dan retaknya basis ritual masyarakat desa, tak terjadi pergeseran yang signifikan atas peran pulung.
Bila dihubungkan dengan jabatan presiden, hal yang sama juga terjadi. Sebagian warga di Indonesia masih terbuai dan yakin. Yang akan menyelamatkan Indonesia adalah Ratu Adil. Walau mereka tak tahu Ratu Adil itu seperti apa. Kondisi ini-dengan meminjam Saussure, menjadikan mitos dengan cerdik menampilkan sebuah struktur "tertulis" yang muncul ke permukaan.
Menurut dia, jenis logika pikiran primitif sama ketatnya dengan ilmu modern, perbedaannya tak berada pada proses intelektual, tetapi lebih pada hakikat benda-benda tempat pikiran itu diterapkan. Mitos itu pun berubah jadi pesan dan menguat seiring dengan bergulirnya proses transfer tiap generasi.
Pada simpul ini, peran perantara antara dunia manusia dan gaib berjalan. Demi menggaet pulung, calon kades minta bantuan "orang pintar", berziarah ke makam-makam Wali, hingga larangan tidur sehari semalam menjelang hari pemilihan.
Namun, ada satu golongan penting lain yang ikut menentukan putih hitamnya pilkades. Yakni para pejudi. Di tiap pilkades, dipastikan ada tiga macam tipe pejudi. Pertama, bandar judi yang jadi sponsor seorang calon. Mereka tak segan-segan mengucurkan jutaan rupiah membantu keuangan calon kades. Dari kampanye hingga dana serangan fajar.
Tipe kedua, bandar judi biasa. Hebatnya, pejudi tipe ini berani pula melakukan serangan fajar agar jagonya menang. Kadang, bandar jenis ini berani pula melakukan "serangan fajar". Yang terakhir adalah pejudi hiburan.
Peristiwa pilkades, bisa jadi cermin yang erat dengan realitas kebanyakan. Di situlah tergambar resistensi, kritik, bahkan kelucuan. Namun, unsur-unsur yang melingkupi prosesi pilkades bukanlah hal yang alami. Sebab, semuanya merupakan konstruksi dari suatu wacana kebudayaan yang berada dibelakangnya.
Akankah ingar-bingar pilkades ini juga akan kita temui dalam pentas pilpres kita Juli 2004 nanti?
Ajar Aedi Alumnus Fakultas Filsafat UGM, Kontributor Latitudes Magazine
(Kompas, Minggu, 07 September 2003 )

Friday, November 10, 2006

Socialites

Menjadi bagian komunitas socialites (golongan superkaya dan elite) mungkin jadi mimpi sebagian orang. Di kota-kota besar dunia, termasuk Jakarta atau Surabaya, komunitas ini terbentuk dan eksis. Komunitas terbatas yang bisa sambil minum anggur merek paling ampuh, membincangkan mobil Ferarri teranyar yang seharga Rp 5 miliar per unit, atau menelisik arloji merek Vacheron Constantin senilai Rp 1,7 miliar.

Komunitas kecil dengan anggota yang bergelimpang uang ini, akan sering bertatap atau bertukar kabar di acara peluncuran produk terbaru barang mewah nan terbatas. Untuk masuk ke acara-acara itu pun, butuh undangan khusus!

Tak percaya bagaimana socialites berkibar di kota-kota besar di Indonesia? Morgan Stanley, perusahaan investasi bertaraf internasional, tahun lalu merilis data spektaluler. Saat ini, sekira ada 3.328 keluarga di Indonesia membekap aset USD 5-20 juta, dan 167 keluarga menyimpan aset USD 20-100 juta. Dari jumlah ini, 80 persen berdomisili di Jakarta dan 10 persen tinggal di Surabaya.

Ambil contoh Surabaya. Di ibu kota Jawa Timur ini, ada 420 keluarga kaya dengan aset USD 5-20 juta dan 21 keluarga lainnya beraset USD 20-100 juta. Di Bandung, sedikitnya ada 167 keluarga memiliki USD 5-20 juta dan 8 keluarga lainnya mengenggam USD 20-100 juta.

Keluarga-keluarga kaya yang tinggal di kota besar, punya kebiasaan gaya hidup yang mungkin unik. Jangan heran, warga kota kelas khusus ini tidak akan pernah menilai sebuah produk dengan nilai uang. Karena itu, citra jadi faktor utama.

Perlu dicatat, kota punya sifat kosmopolitan bak teater, di mana di dalamnya ada struktur sosial yang menyemburkan beragam gaya hidup, dorongan membentuk kepribadian sosial, serta mengadakan perubahan. Atau dalam bahasa Max Weber, kota merupakan sarana perubahan sosial. Kota berkembang karena aktivitas komuniti kotanya. Interaksi warga bisa membuat kota berkembang membesar atau menyusut bahkan mati.

Golongan kaum kaya ini punya cara sendiri berkomunikasi dengan "kerabatnya". Dari jamuan makan malam spesial dengan tata cara khusus, atau saat membincangkan karya seni, maka pelukis idola dan jajaran koleksi jadi menu utama. Kecil tapi penting, bagaimana mereka mengekspresi adi busana. Misalnya, seorang socialites acap plesiran untuk sekadar melihat karya terbaru desainer kondang, dan untuk kaum hawa dalam percakapan makan tak boleh merapikan tali bra atau dalam berpakaian terlihat garis celana dalamnya.

Lantas, siapa saja yang mau ikut atau mencoba "menjerumuskan diri" dalam kelas socialites yang menikmati belaian gaya hidup perkotaan ini? Mereka inilah dijuluki "generation of dream concumers". Sebagian besar dari masyarakat pendidikan dan keluarga mapan, berusia antara 15-45 tahun. Generasi konsumtif inilah jadi patokan bagi bisnis gaya hidup perkotaan.

Tak cuma masalah gaya hidup dan pilihan produk, golongan keluarga kaya ini punya pelayanan perbankan yahud. Dahulu, mereka lebih suka memarkir dananya di luar negeri. Namun kini banyak bank lokal meluncurkan layanan private banking buat warga kota kaya ini, yang biasanya masuk dalam program wealth management sebuah bank. Selain ekslusivitas, stabilitas jadi kata kunci lain. Sebab, para nasabah ini tak ingin kekayaannya tersebar dan diketahui.

Tak mau ketinggalan, untuk golongan kaya ini, media adalah denyut hidupnya. Mereka yang berindustri, beriptek maju, menganut ekonomi pasar bebas, mengenal budaya media. Dalam catatan budayawan alm. Umar Kayam (1997), budaya media adalah di mana masyarakatnya memanfaatkan media (informasi) nyaris semaksimal-maksimalnya, hingga hidup sehari-hari nyaris lumpuh bila sang media modern itu dicabut.

Medialah yang telah mencitrakan segala kebutuhan mereka. Bahkan, majalah khusus kaum socialites yang tengah tenar Majalah a+ dan Indonesia Tatler, jika belum mengunyah atau fotonya terlihat di terbitan ini, kurang lengkap status itu. Majalah Indonesia Tatler sekarang mengaku bertiras 28 ribu eksamplar yang terdistribusikan di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, dan Medan.

Menariknya, generasi kaya yang sebagian besar konsumtif ini, banyak juga yang berbuat baik. Sebagian, mereka yang berusia di atas 45 tahun memiliki sifat kedermawanan (filantropi) yang tinggi. Biasanya, mereka menyisihkan uang untuk kegiatan sosial, baik pemberian beasiswa, pengembangan UMKM, punya ratusan anak asuh, atau membentuk yayasan social sendiri.

Menjadi bagian socialites yang hebat, tentu harus punya citra baik. Dan citra bukan hanya dibentuk sekejap, tapi, mirip sebuah merek, citra baik adalah selalu menjaga reputasi dan mengembangkan potensi diri.


*) Ajar Aedi, praktisi kampanye dan media, menyelesaikan studi filsafat di UGM dan magister sains perkotaan di UI.
(opini Jawa Pos, Minggu 18 Juni 2006)