Saturday, August 02, 2008

Melawat ke "batas" langit (2)

Personal dan intim. Adalah rasa saat masuk di cungkup Makam Syech Maulaan Ibrahim, kita bisa medekat kurang dari satu meter dari makamnya. Makam Syech Maulana Ibrahim tergolong kecil, namun tampak bersih. Makam ini berdekatan dengan tiga makam lainya yang merupakan keluarganya. Sama, seperti makam Sunan Ampel, makam ini hanya dibatasi dengan pagar besi melingkar. Di sampingnya, bertumpuk Al Quran dan buku-buku Yasin.

Saat duduk bersila di depan makam, dan mendaraskan doa, salah satu teman menghampiri dan berkata, ayo kita berdoa bersama. "Siapa nama ibu dan bapak," tanyanya sambil memulai berdoa lagi. Saat duduk bersila di depan makam, salah satu teman menghampiri dan berkata, ayo kita berdoa bersama. "Mas, siapa nama ibu dan bapak," tanyanya sambil memulai berdoa lagi. Dalam diam, hati menyelipkan puja-puji bagi Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, dan para alim ulama yang telah mewartakan Agama Islam ke masyarakat.

Saya pun diam termenung, mulai membayangkan apa yang sudah saya lakukan dalam hidup ini, dari hal baik dan buruk, baik yang disengaja atau tidak sengaja. Semua berkelebat dan memaksa hati meratap, memohon Allah agar ridho membersihkannya.

Di makam ini, kami pun tidak lama. Selepas itu perjalanan kami lanjutkan ke Makam Sunan Giri yang berjarak sekira 4 kilometer dari Makam Syach Maulana Maghribi. Saat mobil merayap memasuki lokasi parkir, kami sudah disambut dengan lima poster kampanye seukuran gaban para calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim. Tak ketinggalan, keramaian poster itu masih ditambah satu poster "Hidup adalah Perbuatan" milik pengusaha pasar modal kelahiran Pekalongan, Sutrisno Bachir.

"Makam Wali saja sudah dijadikan area kampanye," celetuk seorang teman galau, sambil mengajak saya menaiki tangga makam Sunan Giri. Lima menit di muka, kami sudah sampai di cungkup makam. Pekat malam mulai menutup. Berbeda dengan dua makam sebelumnya, Makam Sunan Giri tertutup kayu jati. Hanya kerabat, orang-orang penting yang bisa masuk dan berdoa di dalamnya. Kami berlima pun segera mengambil tempat, sambil bersandar, doa-doa pun mulai di daraskan.

Kami berlima pun meriung dalam hening dan pikiran masing-masing.

Jika dibandingkan dengan dua makam sebelumnya, beda atmosfer, beda rasa, tercecap. Memang, kondisi makam yang tertutup dengan bangunan kayu jati membuat "nuansa" spritual dan mistis agak tergerus. Namun, banyak kalangan mengatakan, penutupan itu dalam usaha menghilangkan buaian sifat syirik dalam hati para peziarah, karena mereka harusnya berdoa hanya untuk Allah Swt bukan kepada makamnya.

Setelah puas menuntaskan hajat spiritual di Makam Suanan Giri, kami pun segera bergegas pergi. Tujuan selanjutnya adalah Makam Sunan Drajat di Lamongan. Di parkiran, banyak peziarah yang juga mulai berdatangan. Bus-bus besar berisi bapak-bapak dan ibu-ibu tampak riuh rendah hendak menaiki tangga makam. Serasa tak mau ketinggalan sedetik pun, mobil kam pun segera berjingkat meninggalkan Gresik. Memasuki jalan yang mulai sepi, gas mobil pun digeber hingga maksimal.

"Bos, kita ziarah, kalau ada apa-apa, insya Allah syahid," seru seorang teman sambil tertawa, seisi mobil pun bergemuruh oleh tawa kami semua..

Tak lama, handphone teman kembali berbunyi..
"Hallo Bos, ada apa?" tanya teman itu mantap.
"Masalah penertiban spanduk dari Panwaslu, Cak, mohon dibantu tilpun ketua Panwaslu agar tidak mencopot spanduk punya kita!"
"Jangan kuatir, Panwaslu tidak berani. Nanti kalau nekat mencopot spanduk kita, kita demo ramai-ramai saja"
"Cak, posisimu dimana sekarang? Masih Ziarah?"
"Mau ke Lamongan, iya, mengantar teman yang "mualaf', ha..ha...," ucapnya sambil melirik ke arah saya..

No comments: