Tuesday, December 19, 2006

Resensi Masa Bahula

kadang saat menanti hujan tandas menunaikan hajatnya, dan menanti istri selesai rapat, di depan komputer, rasa iseng mendera. akhirnya, saya pun isen memasukkan nama di google. dan ajaib, saya menemukan resensi saya yang lama atas buku kamu merah menjarah.

resensi ini lama sekali. dulu sekitar tahun 2000, resensi ini sebagai sebagai kompensasi atas buku gratis yang diberikan oleh beberapa temen yang sedang giat-giatnya membuat penerbitan buku dan dot.com yang mulai mejamur.. saat itu lagi giat-giatnya menulis resensi dan artikel buat tambahan uang bulanan..he..he.. he.. ini dia resensinya:

-----------------
Resensi
Judul Buku : Kaum Merah Menjarah (Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965)
Penulis : Aminuddin Kasdi Penerbit: Jendela, Yogyakarta
Cetakan Pertama: Mei 2001
Tebal: xliii + 389 halaman

Gagalnya Impian Kaum Radikal

BUKU ini bertutur tuntas beragam persoalan aksi sepihak yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa Timur paruh 1960--1965. Berbasiskan petani, program radikal serta konflik digalakkan. Harapannya, aksi ini jadi pematik revolusi sosial di Indonesia. Namun, karena beberapa hal PKI gagal. Yang menarik, desa dan petani, akhirnya jadi ajang pertikaian ideologis.
Semua bermula dengan lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960. Pemerintah meluncurkan undang-undang itu, sebagai upaya mengatasi beragam persoalan tanah juga struktur kepemilikannya di Jawa. Uniknya, diantara daerah lain, Jawa Timur berada pada peringkat tertinggi untuk urusan tanah yang harus di bebaskan. Selain itu, 42,5% penduduknya merupakan lapisan masyarakat yang tak memiliki tanah pertanian atau sawah.
Ironisnya, pelaksanaan UUPA di beberapa tempat di Jawa Timur, berbuntut pada konflik serta keresahan yang meluas. Ternyata, kericuhan itu muncul sebagai imbas dari pertempuran PKI, PNI, serta NU. Pertama, ketiganya berebut masa pendukung. Sebab, dengan prosentase masyarakat yang tinggal di desa, partai melakukan "rural politik". Perhatian pembinaan kader pindah dari kota ke desa. Desa jadi sumber massa pendukung utama. Masalah kedua, ketika PKI melakukan aksi sepihak, dengan menduduki tanah, ternyata, sebagian tanah itu milik anggota NU atau PNI.
Dilibatkannya desa dalam peta politik nasional, mengakibatkan terjadinya persaingan di area pemimpin supradesa. Tujuannya jelas, mencari dukungan suara petani. Itulah penyebab masyarakat desa terbelah dalam berbagai aliran. Selain itu, imbas lain ialah posisi para elit desa serta lurah jadi sangat sentral.
Karena, ialah titik pusat berbagai kegiatan politik. Baik dari segi kekuasaannya untuk menentukan laju arah politik desa, atau kepentingan politik di desa yang dibebankan padanya. Dan dalam kasus pelaksanaan UUPA, lurah jadi ketua landreform tingkat desa. Disinilah perannya makin penting, mendaftar dan melaksanakan penyitaan tanah.
Untuk tingkatan elite tradisional, posisi ini dikuasai kiai yang jelas berafiliasi ke NU. Tak mau kalah, lantas PNI masuk ke desa lewat jalur birokrasi pemerintah. Sedang PKI membuka pintu masuk lewat organisasi yang mencakup segala kelompok kepentingan. Proses politisasi ini juga membuat status elit tradisional makin luntur. Akhirnya, peranan itu membuat warga desa mendapat identitas baru. Namun, menurut Aminuddin Kasdi, kedudukan dan peranannya sebagai patron pun makin kental. Tak heran, jika muncul kooptasi diantara elit tradisional dan lurah. (hal. 89).
Untuk menggaet massa, PKI juga menerapkan strategi lain. Mereka meletakkan kepentingan desa di atas kepentingan kota. Yaitu dengan memberikan tanggapan atas kebutuhan petani, juga meningkatkan kesadaran dan partisipasi mereka.
Apa yang dilakukan PKI telah sedikit merubah tipikal pemimpin tradisional. Sebab seseorang disebut pemimpin jika ia sakti, mandraguna, mukti, serta wibawa. Untuk kriteria ini, kebanyakan kiai, guru, pejabat desa, serta pemimpin tradisional lainnya telah kokoh posisinya. Hingga mereka siap memberikan petunjuk bagi pengikutnya.
Nah, apa yang dilakukan PKI, dengan merekrut kadernya ditingkatan paling bawah dan merubahnya jadi pemimpin. Senjata mereka cuma kecakapan berdebat dan pengetahuan politik. Semuanya didapat dari kursus, rapat, juga pembinaan yang intensif. Hingga tak heran, sejak tahun 1959, kader PKI diwajibkan dalam menanggani masalah agraria dan massa tani, harus berdasarkan riset. Bahkan jika pekerjaan praksis mereka gagal, maka mereka harus bekerja secara ilmiah. Terutama dalam membangkitkan, memobilisassi, serta mengorganisasi massa.
Selain itu, tugas penelitian yang lain yakni: meneliti kepala desa yang menghalangi UUPA, menelanjangi tuan tanah, dan memperkuat front persatuan tani revolusioner. Kaum tani pun harus dibangkitkan untuk melaksanakan aksi me-retool (mencopot) kepala desa yang menghambat atau membantu tuan tanah dalam pelaksanaan UUPA.
Walau telah melakukan persiapan yang dianggap cukup, ternyata keputusan untuk melakukan aksi sepihak sangat tergesa-gesa. Banyak hal yang terlupakan PKI. Misalnya, ketika pelaksanaan landreform, keuangan negara yang tak memungkinkan diadakan ganti rugi. Tak jarang, tanah yang telah dibeli negara tak dibayar langsung. Ini memberikan kesan bahwa pemerintah hanya menyita tanah.
Masalah lain, para tuan tanah pun melakukan banyak cara menyelamatkan tanahnya. Misalnya memindahkan hak pemilikan tanah pada orang lain. Laiknya dihibahkan, waris, dibagi karena perceraian, dan mewakafkan pada lembaga keagamaan tertentu.
Menurut Aminuddin Kasdi, penyebab kegagalan PKI, pertama, pelaksanaan UUPA sendiri masih bersifat kompromi. Hingga UUPA sendiri belum memenuhi tuntutan PKI untuk melenyapkan tuan tanah. Kedua, PKI belum memiliki daerah yang benar-benar telah dikuasai secara sosial, ekonomi, politik, dan militer. Ketiga, dalam melakukan aksi sepihak, PKI tak berhasil memperoleh dukungan massa petani miskin seluruhnya. Karena mereka tetap terpecah dalam tiga kelompok besar Nasakom. Sewaktu mengadakan aksi sepihak pun, PKI mendapat perlawanan keras dari warga NU dan PNI. (hal. 154)
***
Buku yang merupakan hasil tesis Fak. Pascasarjana UGM tahun 1990 ini, sesungguhnya layak untuk disimak. Pertama, ia menyajikan inventarisasi berbagai aksi sepihak di Jawa Timur. Kedua, Aminuddin Kasdi dengan jeli menggungkapkan berbagai kondisi struktural dan penyebab meletusnya aksi sepihak. Ketiga, kelengkapan analisis yang ditunjang dengan beragam data pendukung. Namun sayang, ada yang agak menggangu. Dengan ketebalan buku yang cukup berlebih, seharusnya dimbangi dengan penggunaan bahasa yang nyaman, mengelitik, serta akrobatik. Namun itu tak terjadi. Hingga, kita pun dibuat agak lelah dalam membacanya.[]
Ajar Aedi Mahasiwa Fak. Filsafat UGM