Wakil Presiden Jusuf Kalla hanya bisa geleng kepala, karena dalam lima tahun Indonesia mengelar 500 kali pemilihan kepala daerah secara langsung. Itu pun masih ditambah pemberitaan konflik atas hasil Pilkada dari penjuru Indonesia, yang jelas membuatnya makin geleng kepala.
Namun, seperti Jusuf Kalla yang mungkin mencalonkan diri jadi Presiden Indonesia, ada beribu alasan kenapa banyak orang berlomba jadi pemimpin daerah hingga presiden. Dari alasan klise ingin mengabdikan diri membangun negeri, hingga prestise pribadi.
Yang pasti, jalan jadi pemimpin beragam. Dari menunjuk diri sendiri, demokrasi langsung, lewat bekapan otoriter, hingga kudeta di bawah todongan laras senjata. Semuanya bermuara dua hal: merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Dalam keyakinan Jawa, dan praktiknya masih terasa hingga kini, kekuasaan seiring sejalan dengan belai supranatural. Untuk jadi pemimpin, orang harus mendapatkan atau bila perlu “merampok” pulung keprajan (wahyu cakraningkrat atau restu dari kekuatan yang tak terlihat).
Diyakini, wujud pulung berbentuk cahaya putih yang melayang dari langit lalu moksa (menyusup) ke tubuh seseorang atau rumah yang ditinggali. Beberapa hikayat menuturkan, pulung acap datang lewat dini hari menjelang fajar. Di masa lalu, pulung adalah basis legitimasi religius dan kultural seorang pemimpin. Itulah bukti restu Langit atas kepemimpinan seseorang. Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya) diyakini mendapatkan pulung untuk jadi Raja Pajang, saat tertidur di pendopo rumah. Tapi, pulung ini akhirnya direnggut Sutawijaya (Panembahan Senopati) dalam peperangan. Saat itu, pulung Panembahan Senopati adalah dukungan kekuatan imajiner Kanjeng Ratu Kidul yang didapatnya setelah semedi.
Hal sama terjadi saat pulung Presiden Soekarno, dengan alasan penertiban keamanan, direbut Soeharto lewat Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret). Dikalangan spritual Jawa, tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dalam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.
Bisa dikatakan, pulung jadi sumbu utama bagi proses penciptaan kesadaran palsu khalayak luas atas "pemimpin baru" (pemimpin dengan kekuatan tak terhingga). Hal ini terjadi karena belum terbentuk kesadaran kritis individu, sehingga khalayak dengan mudah masuk perangkap.
Namun, dalam kondisi terburuk, proses ini bisa bermuara pada pemberhalaan, pemujaan, yang mengantarkan pemimpin pada keterasingan atas dirinya sendiri. Hal ini bisa kita lihat di senjakala kepemimpinan Soekarno dan Soeharto.
Yang jelas, proses reifikasi yang dilakukan pemimpin memunculkan sebuah struktur "tertulis" ke permukaan. Bak sistem semiotis, dimana penaklukan atas kesadaran atau ideologi menggunakan bahasa atau makna. Namun pastinya, logika-logika yang dibangun, antara logika pikiran primitif sama ketatnya dengan ilmu modern.
Merujuk Saussure, perbedaan logikanya tak berada pada proses intelektual, tetapi lebih pada hakikat benda tempat pikiran itu diterapkan. Pada tradisi lisan, hikayat pulung hidup melintasi generasi melalui supranaturalis, hingga para juru kunci. Yang pasti, juru kunci seperti Mbah Maridjan pun perlu pulung.
Maka, jika patronase pemimpin di masa lampau dibungkus dengan pulung, di masa modern sekarang, isi patronase itu terkomodifikasi menjadi popularitas. Kini di masa tradisi literatur dan era digital, media jadi “juru kunci” pengantar suara dari kekuatan tak terlihat yang mampu mereproduksi popularitas kepemimpinan seseorang yang dibalut citra.
Jalaluddin Rakhmat (1986) mendefinisikan citra sebagai gambaran tentang realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Citra adalah dunia menurut persepsi kita. Selaras dengan itu, dengan kekuatan media, citra jadi senjata utama memompa mantra popularitas. Hal ini terjadi, karena secara teoretis, media massa memegang peran penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934).
Media melalui teksnya berperan sebagai detektor kondisi masyarakat. Dari budaya populer, politik, ideologi, hingga kebiasaan. Sebagai saluran sarat kepentingan, hanya media yang mampu mengkonstruksi kenyataan yang ada, dilengkapi rasionalisasi, bias-bias, dan yang utama keperpihakan kepada “penyuruhnya”. Hingga citra yang ditampilkan terkesan tak lepas dari konteks sosial.
Jadi, saat seseorang (atau lembaga survey) jadi sais atas media, maka semua citra dan realitas dibentuk atas titah mereka. Akhirnya, masyarakat hanya menangkap realitas melalui citra media yang telah direka. Citra jadi terlihat lebih penting (asli) dari realitas empiriknya, walau sebenarnya citra hanya menginduk pada simboliknya.
Namun, baik di masa lampau atau sekarang, selain pulung yang kini berganti jadi popularitas, seseorang yang ingin memimpin harus punya tiga kekuatan utama.
Pertama, reputasi kepemimpinan. Biasanya, reputasi ini didapatkan dari garis kepemimpinan terdahulu. Masyarakat telah mengenal kepemimpinan lewat kemampuan pendahulunya. Misalnya, kita mengenal Dinasti Bhuto di Pakistan, Dinasti Kennedy di Amerika Serikat, atau Dinasti Soekarno di Indonesia.
Tapi, kalau tidak ada punya reputasi? Jangan kuatir, kemampuan bisa didomplengkan lewat lembaga formal: baik kampus, institusi sipil, pemerintahan, atau keraton. Ini alasan, mengapa menjelang pemilihan kepala daerah, banyak orang sibuk mencari gelar kebangsawanan, gelar akademik resmi, atau gelar honoris causa.
Kedua, adakah partai penyokong dan para pengikut (kalau bisa yang bersenjata). Mereka jadi bagian massa kampanye, mengintimidasi lawan, serangan fajar, hingga menguasai Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk manipulasi suara. Maka, kalau kemudian belakangan lalu beredar, setelah calon Presiden Sutiyoso terdengar mendapat dukungan dari para purnawirawan tentara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun segera mengumpulkan para Jenderal untuk menetralisir.
Ketiga, dana (harta kekayaan). Dulu kekayaan sebagai tampilan status sebagai orang kuat. Kini, dana berfungsi pelumas mesin kampanye. Untuk menyewa lembaga survey, pernik kampanye, hingga uang serangan fajar. Kalau tak punya dana, banyak pihak menyumbang, tapi berganti balas budi dikemudian hari.
Namun, bumbu paling manis perajut kekuatan praktis dan ideologi tadi adalah janji. Perlu diingat, walaupun janji dari calon kepala daerah atau presiden hanya sekadar kata, namun kata-kata tadi telah berbingkai ideologi. Inilah yang membuat janji berlaku sebagai produk material. Baik dalam kehidupan praksis sehari-hari bahkan secara imajiner, ideologi mejadikan dirinya sesuatu yang merepresentasi.
Janji adalah jembatan pembentuk relasi struktur yang akan bertransformasi jadi struktur kesadaran dan struktur tingkah laku. Ini sebab, mengapa janji menjadikan dirinya mampu melahirkan kepercayaan masyarakat kepada (calon) pemimpinya.
Untuk itu, hati-hati membuat janji. Sebab, setelah memimpin, bila janji tak terpenuhi atau ingkar janji, pulung keprajan bisa berpindah tuan. Atau, bisa berganti dengan pulung gantung. Warga Gunung Kidul, Yogyakarta, yakin bentuknya bak bola api berekor dan berwarna hijau kemerahan. Menurut mereka, bila ada rumah didatangi pulung gantung, keesokan harinya salah satu penghuninya ditemukan mati gantung diri.