Menjadi bagian komunitas socialites (golongan superkaya dan elite) mungkin jadi mimpi sebagian orang. Di kota-kota besar dunia, termasuk Jakarta atau Surabaya, komunitas ini terbentuk dan eksis. Komunitas terbatas yang bisa sambil minum anggur merek paling ampuh, membincangkan mobil Ferarri teranyar yang seharga Rp 5 miliar per unit, atau menelisik arloji merek Vacheron Constantin senilai Rp 1,7 miliar.
Komunitas kecil dengan anggota yang bergelimpang uang ini, akan sering bertatap atau bertukar kabar di acara peluncuran produk terbaru barang mewah nan terbatas. Untuk masuk ke acara-acara itu pun, butuh undangan khusus!
Tak percaya bagaimana socialites berkibar di kota-kota besar di Indonesia? Morgan Stanley, perusahaan investasi bertaraf internasional, tahun lalu merilis data spektaluler. Saat ini, sekira ada 3.328 keluarga di Indonesia membekap aset USD 5-20 juta, dan 167 keluarga menyimpan aset USD 20-100 juta. Dari jumlah ini, 80 persen berdomisili di Jakarta dan 10 persen tinggal di Surabaya.
Ambil contoh Surabaya. Di ibu kota Jawa Timur ini, ada 420 keluarga kaya dengan aset USD 5-20 juta dan 21 keluarga lainnya beraset USD 20-100 juta. Di Bandung, sedikitnya ada 167 keluarga memiliki USD 5-20 juta dan 8 keluarga lainnya mengenggam USD 20-100 juta.
Keluarga-keluarga kaya yang tinggal di kota besar, punya kebiasaan gaya hidup yang mungkin unik. Jangan heran, warga kota kelas khusus ini tidak akan pernah menilai sebuah produk dengan nilai uang. Karena itu, citra jadi faktor utama.
Perlu dicatat, kota punya sifat kosmopolitan bak teater, di mana di dalamnya ada struktur sosial yang menyemburkan beragam gaya hidup, dorongan membentuk kepribadian sosial, serta mengadakan perubahan. Atau dalam bahasa Max Weber, kota merupakan sarana perubahan sosial. Kota berkembang karena aktivitas komuniti kotanya. Interaksi warga bisa membuat kota berkembang membesar atau menyusut bahkan mati.
Golongan kaum kaya ini punya cara sendiri berkomunikasi dengan "kerabatnya". Dari jamuan makan malam spesial dengan tata cara khusus, atau saat membincangkan karya seni, maka pelukis idola dan jajaran koleksi jadi menu utama. Kecil tapi penting, bagaimana mereka mengekspresi adi busana. Misalnya, seorang socialites acap plesiran untuk sekadar melihat karya terbaru desainer kondang, dan untuk kaum hawa dalam percakapan makan tak boleh merapikan tali bra atau dalam berpakaian terlihat garis celana dalamnya.
Lantas, siapa saja yang mau ikut atau mencoba "menjerumuskan diri" dalam kelas socialites yang menikmati belaian gaya hidup perkotaan ini? Mereka inilah dijuluki "generation of dream concumers". Sebagian besar dari masyarakat pendidikan dan keluarga mapan, berusia antara 15-45 tahun. Generasi konsumtif inilah jadi patokan bagi bisnis gaya hidup perkotaan.
Tak cuma masalah gaya hidup dan pilihan produk, golongan keluarga kaya ini punya pelayanan perbankan yahud. Dahulu, mereka lebih suka memarkir dananya di luar negeri. Namun kini banyak bank lokal meluncurkan layanan private banking buat warga kota kaya ini, yang biasanya masuk dalam program wealth management sebuah bank. Selain ekslusivitas, stabilitas jadi kata kunci lain. Sebab, para nasabah ini tak ingin kekayaannya tersebar dan diketahui.
Tak mau ketinggalan, untuk golongan kaya ini, media adalah denyut hidupnya. Mereka yang berindustri, beriptek maju, menganut ekonomi pasar bebas, mengenal budaya media. Dalam catatan budayawan alm. Umar Kayam (1997), budaya media adalah di mana masyarakatnya memanfaatkan media (informasi) nyaris semaksimal-maksimalnya, hingga hidup sehari-hari nyaris lumpuh bila sang media modern itu dicabut.
Medialah yang telah mencitrakan segala kebutuhan mereka. Bahkan, majalah khusus kaum socialites yang tengah tenar Majalah a+ dan Indonesia Tatler, jika belum mengunyah atau fotonya terlihat di terbitan ini, kurang lengkap status itu. Majalah Indonesia Tatler sekarang mengaku bertiras 28 ribu eksamplar yang terdistribusikan di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, dan Medan.
Menariknya, generasi kaya yang sebagian besar konsumtif ini, banyak juga yang berbuat baik. Sebagian, mereka yang berusia di atas 45 tahun memiliki sifat kedermawanan (filantropi) yang tinggi. Biasanya, mereka menyisihkan uang untuk kegiatan sosial, baik pemberian beasiswa, pengembangan UMKM, punya ratusan anak asuh, atau membentuk yayasan social sendiri.
Menjadi bagian socialites yang hebat, tentu harus punya citra baik. Dan citra bukan hanya dibentuk sekejap, tapi, mirip sebuah merek, citra baik adalah selalu menjaga reputasi dan mengembangkan potensi diri.
*) Ajar Aedi, praktisi kampanye dan media, menyelesaikan studi filsafat di UGM dan magister sains perkotaan di UI.
(opini Jawa Pos, Minggu 18 Juni 2006)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment